Inilah Skenario Masa Depan Libya

Senin, 21 Maret 2011

DETIKPOS.net - Masa depan Libya semakin tidak menentu. Serangkaian protes terhadap rezim Moamar Kadhafi sejak 15 Februari kini berkembang menjadi perang saudara antara pendukung dan penentang penguasa yang mengudeta Raja Idris pada 1 Sep 1969 itu. Meski perang tersebut telah menewaskan lebih dari 6.000 orang, Kadhafi memilih untuk tetap mempertahankan kekuasaan dan bahkan bersumpah melawan para demonstran hingga tetes darah terakhir.

Pengunduran diri sejumlah menteri dan duta besar sebagai bentuk protes atas kekejaman rezim Kadhafi yang membantai rakyat Libya juga tidak mampu memaksanya meletakkan kekuasaan. Meski sebagian petinggi militer telah membelot ke oposisi, Kadhafi meyakini bahwa kekuasaannya tidak akan runtuh karena dia dibela oleh tentara bayaran dari Chad, Niger, dan Sudan.

Para loyalis Kadhafi itu terus berjuang mengamankan singgasana sang diktator yang telah digenggam selama hampir 42 tahun tersebut dengan menghadang setiap aksi massa di kota-kota utama. Direbutnya Benghazi dan Misrata di Libya Timur oleh oposisi ternyata tidak sedikit joke menyurutkan langkah Kadhafi untuk terus memerangi demonstran. Kadhafi yakin kota terbesar kedua dan ketiga di Libya itu bakal bisa dikuasainya lagi mengingat pasukannya berhasil merebut kembali Ajdabiya yang dipandang dapat membuka jalan menuju Benghazi dan kota-kota lain di wilayah timur.

Hingga kini, pertempuran antardua kubu masih berlangsung sengit dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Oposisi tetap menuntut Kadhafi mundur, dan sebaliknya, sang kolonel bersikeras tidak mau menuruti keinginan oposisi. Di tengah situasi demikian, Libya mungkin dihadapkan pada dua tahap skenario masa depan. Pertama, intervensi militer oleh sejumlah negara yang menganggap Kadhafi telah melanggar hak asasi manusia. Kedua, instabilitas politik jika Kadhafi akhirnya terguling, tetapi tidak ada satu joke tokoh yang pantas menggantikannya.

Intervensi Militer

Tanda-tanda intervensi militer terhadap Libya tampak dari keputusan Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan zona larangan terbang di Libya Kamis lalu (17/3). Resolusi PBB itu mengutuk pelanggaran berat dan sistematis terhadap hak asasi manusia yang telah dilakukan rezim Kadhafi. Resolusi tersebut juga menjatuhkan sanksi embargo senjata terhadap Libya dan pembekuan aset Kadhafi.

Dua hari setelah resolusi itu disepakati, 20 pesawat tempur Prancis berpatroli di langit Kota Benghazi, kapal perang Amerika Serikat menembakkan sedikitnya 110 rudal jelajah Tomahawk, dan jet tempur Inggris membombardir Tripoli, ibu kota negara yang menjadi pusat kekuasaan Kadhafi. Sejumlah negara Barat lain, seperti Kanada, Norwegia, Denmark, dan Spanyol, telah mengirimkan jet mereka ke Libya. Selain itu, Italia menyediakan pangkalan udara yang relatif dekat dengan wilayah Libya untuk memulai serangan.

Selama ini, negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) itu sebenarnya berkeinginan melancarkan intervensi militer terhadap Libya. Namun, aksi intervensi tersebut kerap tertunda karena mereka tidak memiliki landasan kuat untuk melakukannya. Karena itu, ketika DK PBB resmi menerbitkan resolusi tentang zona larangan terbang di Libya, NATO merasa mendapatkan legitimasi untuk menjalankan aksi militer jika resolusi tersebut tidak dipatuhi.

Mencermati hal itu, tampaknya skenario Balkan akan melanda Libya. Pada 1999, NATO melancarkan intervensi militer ke wilayah Balkan untuk mendongkel kekuasaan Presiden Serbia Slobodan Milosevic. Milosevic yang dituduh telah membasmi etnis Albania akhirnya diseret ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang.

Jika Kadhafi tetap bertindak brutal, tidak tertutup kemungkinan dia mengalami nasib serupa dengan Milosevic. Bagi negara-negara Barat, tindakan itu relatif mudah dilakukan karena dukungan terhadap Kadhafi kian melemah. Apalagi, mereka berkepentingan atas sumber minyak Libya yang akan dengan mudah dikeruk jika Kadhafi tumbang.

Instabilitas Politik

Apabila benar NATO melancarkan intervensi militer, hampir dapat dipastikan Kadhafi bakal terguling dari kekuasaan. Masalahnya, hingga kini belum ada figur berpengaruh yang layak dipercaya menggantikan Kadhafi. Sebab, selama empat dekade berkuasa, Kadhafi telah menutup semua lini menuju kekuasaan bagi semua orang. Satu-satunya figur yang diberi kewenangan besar untuk turut menjalankan kekuasaan hanyalah Saif al-Islam, putranya yang memang telah disiapkan menggantikan dirinya.

Selama bertahun-tahun rakyat Libya hanya dikenalkan kepada sosok Saif sebagai pemimpin masa depan sehingga menutup peluang munculnya figur alternatif. Jika Kadhafi terguling dari kekuasaan, hampir pasti Saif terusir dari Libya. Oleh sebab itu, tantangan masa depan bagi rakyat Libya adalah menemukan sosok pengganti yang tepat dan tidak tergoda mempertahankan kekuasaan terus-menerus.

Celakanya, gerakan people power di Libya sama sekali tidak memunculkan figur pemimpin alternatif seperti revolusi Mesir yang memunculkan Mohammed El Baradei dan Amr Moussa. Gerakan tersebut murni berasal dari rakyat bawah, tanpa digerakkan oleh sosok tertentu. Tantangan indication gerakan semacam itu biasanya adalah bersatu ketika melawan musuh yang sama, tetapi tercerai-berai ketika tidak ada musuh yang dilawan dan sosok tepercaya yang diharapkan bisa menjadi pemimpin tidak kunjung muncul.

Karena itu, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat dalam gerakan tersebut akan saling berebut kekuasaan pasca Kadhafi. Mereka akan menganggap diri sebagai yang paling berjasa membebaskan rakyat Libya dari kekejaman Kadhafi. Akibatnya, Libya pasca Kadhafi bakal mengalami instabilitas politik karena kesulitan memilih pemimpin terlegitimasi yang dipercaya semua kalangan. [radarjogja/ris]

Oleh : A. SAFRIL MUBAH, pengamat politik Timur Tengah.

Blog Berita Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © HAUS BERITA
Using Xclear Theme | Bloggerized by Themescook